Tampilkan postingan dengan label nusantara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label nusantara. Tampilkan semua postingan

MISTERI BAYI BERTUKAR MENJADI BUAYA

SEORANG BAYI BERTUKAR MENJADI SEEKOR BUAYA | Aku nak bercerita pasal pengorbanan seorang ibu. Kisah ini benar, tetapi terserah samada nak letakkan kepercayaan atau tidak. Aku ambil kisah ini daripada seorang teman di Twitter.

Begini kisahnya.


Difahamkan, dia tidak suka muka atau kepalanya dipegang. Kecuali, ahli keluarganya sahaja.

Ada seorang ni ada kembarnya dan kembarnya lelaki, manakala dia ini seorang perempuan. Kembar sepasang kiranya masa dalam kandungan ibunya, dan apabila tiba hari nak melahirkan, biasalah dulu-dulukan lahirkan bayi di rumah saja.

Tetapi bayinya tiada dan kemudian kelihatannya bidan itu seperti dimasuki sesuatu. Dia seolah olah dirasuk lalu berkata ‘dia akan datang sebagai anakmu dalam masa 3 hari lagi’.

Kemudian keadaan bidan itu tidak diketahui, mungkin pengsan selepas itu. Keadaan ibunya pula? Wallahu’alam.

Si kembar bertanya di mana kembarnya seorang lagi? Semua orang ingat gugur sebab darah keluar banyak sangat ketika itu.Tiga hari kemudian, wanita itu selamat melahirkan seorang lagi bayi lelaki yang disangkakan gugur itu, tetapi ternyata tidak.


Alhamdulillah, bayi lelaki itu dilahirkan sempurna sifatnya seperti manusia biasa. Memang manusia pun.




Seperti yang dijanjikan oleh “sesuatu” (yang memasuki tubuh bidan) itu. Hari ke-3, si ibu terkejut melihat seekor anak buaya bersebelahan bayi lelakinya. (Nama kembar dia tak tanya la pulak) Kemudian buaya ini diberi nama Nur Hasanah. Binti? (Tak tanya bapa dia, hehe) Anak buaya itu dijaga rapi, ditatang bagai minyak yang penuh.Bagaimana dia menjaga si bayi lelaki, seperti itu jugalah layanan yang diberi pada si anak gadisnya (buaya) itu. Hinggalah sekarang, dia berusia 21 tahun. Tapi sekarang, dah lain.

Dia hanya makan seminggu dua kali, dan makanannya adalah seeokor ayam yang ditahlil. Ya, ditahlil. Pastikan ayam itu wajib ditahlilkan terlebih dahulu baru dia akan makan. Jika tidak, dia takkan makan dan akan mengamuk.

Dia buang air besar/kecil setahun sekali. Wahh senang nak jaga lah ya ! Untunglah.
Kalau dia ingin katakan sesuatu, misalnya, tukarkan cadar, nak makan, nak tonton televisyen atau apa saja, dia akan goyangkan badannya dan jika tiada yang mengerti hasratnya, dia akan masuk ke dalam badan, kemudian setelah hasratnya tertunai, kembalilah dia ke dalam jasad buaya semula.Hairan bukan? Dia masih mempunyai naluri manusia. Tukar cadar? Yaa, dia tidur atas katil. Tonton televisyen? Yaa, dia gemar menonton kata ibunya. Kembarnya? Jalani kehidupan seperti biasa.





Inilah tempat mandinya.




Si ibu membetulkan bantalnya. Dia menggoyangkan tubuhnya, menandakan dia tidak nampak televisyen.
Kini, dia (buaya) itu dijadikan pameran kerana keanehannya dan difahamkan keluarganya mempunyai keturnan Pahlawan Buaya.Kemudian, dia merupakan generasi terakhir. Terserah mahu percaya atau tidak. Allah itu Maha segalanya.

Nampak tak, walaupun ibunya mungkin menerima serpihan mulut jahat, tetapi si ibu masih setia menjaga.











Benarkah cerita ini?Difahamkan ianya satu cerita yang dipercayai kisah benar.
Di mana ia berlaku, tiada sebarang maklumat yang diterima.
Terpulang juga pada kita sama ada mahu mempercayai atau sebaliknya.

sumber:illustrasiku
readmore »»  

BALAS DENDAM KUNTILANAK

Jakarta tempo dulu adalah sebuah perkampungan yang masih asri, penuh dengan pohon-pohon yang besar dan rindang. Sebuah kisah mistis terjadi di kawasan Senayan, Jakarta Selatan. Kisah tentang seorang ibu yang mati dalam keadaan hamil tua dan arwahnya menjelma menjadi sosok Kuntilanak….

Sosok kuntilanak sekarang ini menjadi primadona dalam sinetron maupun film layar lebar. Dalam tayangan sinematografi, umumnya digambarkan sang kuntilanak umumnya digambarkan sebagai sosok arwah penasaran yang membalas dendam
 pada orang-orang yang pernah mencelakainya sewaktu dia masih hidup sebagai manusia. Entah kebetulan atau tidak, peristiwa yang saya ceritakan ini persis seperti kisah dalam film, yakni tentang sosok kuntilanak atau pocong yang ingin balas dendam kepada mereka yang telah mencelakai dirinya.
Kejadiannya memang sudah cukup lama, yakni pada tahun 50-an, dan berlangsung di daerah Senayan, Jakarta Selatan. Waktu itu saya (Penulis) masih duduk di bangku Sekolah Rakyat (SR) atau yang sekarang disebut SD. 

Perlu diketahui, pada tahun 50-an, Senayan tentu saja belum menjadi sebuah kawasan metropolitan seperti sekarang ini. Waktu itu Senayan adalah sebuah perkampungan masyarakat Betawi yang masih banyak ditumbuhi pohon besar. Orang Betawi tempo dulu memang sudah lazim menanam pohon nangka, cempedak, rambutan, durian, mangga dan kelapa di kebun atau halaman rumah mereka. Jadi saat itu kondisi Senayan mirip hutan atau daerah pegunungan.
Waktu, orang tua saya dan beberapa kepala keluarga lainnya yang berasal dari desa di Jawa Barat, merantau ke Senayan. Kami sebenarnya satu sama lain masih merupakan sanak saudara. Rumah orang tua saya, terletak di pinggir jalan, sebab kakek saya membuka usaha toko furniture. Bersebelahan toko kakek, adalah toko sembako milik seorang keturunan Cina totok yang akrab disapa Babah Jangkung.
Babah Jangkung dan keluarganya termasuk China yang kaya raya kala itu. Karena tak ada saingan, toko sembakonya sangat laris. Pembelinya bukan cuma penduduk sekitar, tapi ada juga yang datang dari jauh. Agaknya, Babah Jangkung memang menjual dagangannya dengan harga yang sedikit miring, karena itu pelanggan berbondong-bondong datang ke tokonya yang besar itu.
Sementara itu, di belakang rumah kakek saya, berjajar rumah-rumah sederhana milik orang yang sedesa dengan kami. Sedangkan rumah orang Betawi asli terletak agak jauh. Waktu itu, hampir semua pribumi Betawi masing-masing memiliki tanah yang cukup luas. Ukuran rumahnya pun besar-besar dengan banguan khas Betawi.
Suatu hari, tetangga di belakang rumah, persisnya seorang ibu muda baya yang bernama Ceu Tiyah terserang malaria. Tubuhnya menggigil, walaupun sudah diselimuti berlapis-lapis kain. Sementara itu pula suhu badannya kian meninggi karena demam yang hebat. 
Malang sekali nasib Ceu Tiyah. Waktu itu dia tengah mengandung beberapa bulan. Karena waktu itu belum ada obat-obatan seperti sekarang, dan juga karena takdir Allah, Ceu Tiyah tak pernah sembuh lagi dari serangan malaria itu. Dia meninggal bersama bayi dalam kandungannya.
Malam harinya, setelah siangnya Ceu Tiyah dikuburkan, nenek saya kebetulan buang air kecil di kamar mandi. Letak kamar mandi dan wc kami terpisah dengan bangunan rumah. Kebetulan kamar mandi itu bersebelahan dengan rumah keluarga Ceu Tiyah. Selesai buang hajat kecil, nenek saya terkejut bukan kepalang. Apa lacur, nenek melihat sosok Ceu Tiyah sedang berdiri sambil menyaksikan orang main kartu di ruang tamu rumahnya. Kebiasaan orang Betawi waktu itu kalau ada yang sedang berduka atau lahiran maupun pesta, malamnya memang selalu diisi dengan main kartu. Apalagi, suami Ceu Tiyah memang dikenal sebagai seorang penjudi berat. 
Di luar rumah almarhumah Ceu Tiyah memang tidak ada penerangan, tapi sinar lampu patromak dari ruang tamu lumayan terang. Ingat, waktu itu Jakarta belum ada listrik. 
Karena yakin yang dilihatnya adalah Ceu Tiyah yang baru siang hari tadi dikuburkan, dengan melangkah perlahan-lahan dan sambil membawa segayung air, nenek saya yang pemberani menghampiri Ceu Tiyah. Kemudian air itu disiramkannya oleh nenek sambil berkata, “Pergi kamu!”
Ceu Tiyah berlalu. Tapi bukan dengan melangkah, melainkan melayang seperti terbang sambil mengeluarkan suara mirip anak ayam. 
Beberapa hari kemudian setelah kejadian malam itu Uding, suami Ceu Tiyah terserang demam tinggi. Yang terasa aneh, bola mata Uding selalu melotot seperti orang ketakutan, dan mulutnya selalu berteriak-teriak menyebut nama almarhumah isterinya, “Ampun Tiyah! Ampun Tiyah!”
Hanya sehari sakit, jiwa Uding tidak tertolong lagi. Dia meninggal dalam keadaan kedua bola matanya membelalak, seperti melihat sesuatu yang amat menakutinya. Hal yang sangat aneh dan misterius, pada leher si mayat terihat bekas tangan mencengkeram sedemikian kuat. Karena itulah orang-orang menduga Uding tewas karena dicekik. Mungkinkah itu perbuatan Ceu Tiyah yang menurut kesaksian nenek saya telah berubah wujud menjadi kuntilanak?
Yang pasti, sejak kematian Uding, teror Ceu Tiyah semakin menjadi-jadi. Setelah suaminya meninggal dengan bekas cekikikan di leher, teman-teman berjudi Uding pun mengalami nasib yang sama. Mereka mula-mula terserang demam tinggi. Beberapa hari kemudian meracau dengan berteriak-teriak dan mata membelalak ketakutan. “Ampun Ceu Tiyah! Ampun Ceu Tiyah!” Begitulah yang keluar dari mulut mereka. 
Teman-teman judi Uding itu akhirnya meninggal, dengan kondisi sama seperti suami Ceu Tiyah. Ada bekas cekikan di lehernya. 
Ceu Tiyah pun tak urung melakukan balas dendam pada Babah Jangkung, si pemilik toko sembako. Babah Jangkung rupanya pernah memaki-maki Ceu Tiyah semasa hidupnya, karena utang belanja sembako di tokonya tidak terbayar.
Balas dendam juga dilakukkan pada tetangga yang pernah bertengkar dengan almarhumah. Bahkan, musuh anak Ceu Tiyah (ada dua anak remaja Ceu Tiyah) meninggal juga secara mendadak. 
Atas kejadian demi kejadian misterius ini, oang sekampung tambah yakin bahwa semua teror maut itu adalah perbuatan balas dendam dari Ceu Tiyah yang disebut-sebut telah menjelma menjadi Kuntilanak.
Memang, sudah menjadi rahasia umum bahwa Ceu Tiyah dengan suaminya hidup tidak harmonis. Kedua suami isteri itu sering telibat pertengkaran. Salah satu penyebabnya adalah karena suami Ceu Tiyah seorang pejudi berat. Uang yang didapat sebagai buruh bangunan selalu digunakan untuk judi, sehingga utang ke Babah Jangkung tidak pernah lunas.
Awal tahun 60-an, penduduk Senayan terkena penggusuran, karena di areal itu akan dibangun komplek Gelora Bung Karno dalam rangka Asian Games. Mula-mula yang digusur adalah tempat pemakaman umum yang lokasinya hanya beberapa puluh meter dari tempat tinggal kami.
Masing-masing kuburan digali lalu tulang-belulangnya dipindahkan ke pemakaman Blok P Kebayoran Baru. Sekarang pemakaman Blok P pun sudah tidak ada lagi, karena di lokasi itu sudah dibangun gedung kantor Walikota Jakarta Selatan.
Penduduk Senayan yang kena gusur pindah berpencaran. Ada yang pindah ke sekitar Kebayoran Baru, ada yang ke Simprug, dan ada yang ke Tebet. Kakek saya sekeluarga memilih pindah ke Tebet. 
Sejak penggusuran itu, teror maut Ceu Tiyah tidak pernah terjadi lagi. Anak-anaknya yang menjadi yatim piatu pulang kampung. 
Hampir setengah abad berlalu kejadian misterius itu, namun rasanya baru saja kemarin terjadi. Bila ingat lagi saya bergidik ngeri.
RACHMAT
readmore »»